Panduan CPNS 2013

Panduan CPNS 2013 banner 728x90

Minggu, 06 Oktober 2013

MAKALAH ULUMUL HADISTS “Pembagian Hadits di Pandang dari Sisi Siapa Qoilnya atau Yang Mengucapkan.” JURUSAN EKONOMI SYARIAH, Semester II A



Dosen : Nikmat Sabli. L.ac 
TUGAS ULUMUL HADITS
“Pembagian Hadits di Pandang dari Sisi Siapa Qoilnya atau Yang Mengucapkan.”
O L E H : Kelompok VI (Enam)
Sirojudin, Dayang Sunandi,
Ema Suryani, Julia,
 Johri Andika.
                     Prodi          : Ekonomi Islam
                      Semester     :  II A

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM (STAI)
                                    NATUNA 2012-2013





KATA PENGANTAR


 


Alhamdulillah, Segala puji bagi Allah SWT . Kami memuji, meminta pertolongan dan ampunan serta perlindungan kepada-Nya dari kejahatan jiwa dan keburukan amal perbuatan. Barang siapa diberi petunjuk oleh Allah SWT, tak seorang pun dapat menyesatkannya dan barang siapa disesatkan-Nya, tak seorang pun dapat memberinya petunjuk. Aku bersaksi tiada tuhan selain Allah dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya.

Sehubungan dengan tugas mata kuliah Ulumul Hadits, kami dari kelompok 6 (enam), mendapat materi tentang Pembagian Hadits dipandang dari sisi siapa Qo’ilnya atau yang mengucapkannya ( Hadits Qudsi, Hadits Nabawi, Hadits Marfu’, Hadits Mauquf, dan Hadits Maqhtu’.)
    
Kami menyadari bahwa penyusunan makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu kami mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun dari semua saudara/saudari guna perbaikan di masa yang akan datang. Harapan kami semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi semua saudara/saudari.







DAFTAR ISI



KATA PENGANTAR…………………………………………………………………….1
DAFTAR ISI………………………………………………………………………………2
BAB I  : PENDAHULUAN
A.        LATAR BELAKANG………………………………………………………3
B.         TUJUAN…………………………………………………………………….3

BAB II : ISI / PEMBAHASAN
A.       PEMBAGIAN HADIST DIPANDANG DARI SISI SIAPA
   QO’ILNYA ATAU YANG MENGUCAPKANNYA
1.      HADIST QUDSI......................................................................4
2.      HADIST NABAWI..................................................................6
3.      HADIST MARFU’...................................................................7
4.      HADIST MAUQUF.................................................................11
5.      HADIST MAQTHU’................................................................13
BAB III : PENUTUP
A.       KESIMPULAN……………………………………………………………14
B.        KRITIK DAN SARAN……………………………………………………14
DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………………………15






BAB I
PENDAHULUAN

A.    LATAR BELAKANG

Hadits sebagai sumber hukum Islam yang kedua setelah Al Qur’an untuk memberi petunjuk kepada kehidupan umat manusia. Apa yang tidak diuraikan dalam Al Qur’an akan dijelaskan secara gamblang dalam sebuah hadits, karena pada dasarnya hadits merupakan perkataan, ajaran, perbuatan Rasulullah SAW.
Ilmu hadits telah menyedot perhatian ulama sejak awal perkembangan Islam hingga saat ini, bahkan khazanah Islam lebih banyak dipenuhi kitab-kitab hadits dibanding misalnya kitab tafsir. Ini menunjukkan pentingnya kedudukan hadits dalam Islam.
Kita sebagai seorang muslim tidak menyakini bahwa semua hadits adalah shahih, namun juga tidak benar bila menganggap bahwa semua hadits adalah palsu sebagaimana anggapan para orientalis. Untuk mengetahui tentang kedudukan/martabat suatu hadits di mata hukum yang selanjutnya dari hadits tersebut bagaimana dapatnya dijadikan sebagai sandaran/landasan hukum maka perlu difahami tentang keadaan suatu hadits baik dinilai dari sifat perawinya, sanad-nya, maupun matan dari hadits itu.


B.     TUJUAN

Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah sebagai berikut :
1.      Untuk memenuhi sebagai tugas yang diberikan.
2.      Untuk mengembangkan pemikiran ilmu pengetahuan tentang pembagian hadits.
3.      Untuk mengetahui lebih dalam tentang pembagian hadits dipandang dari sisi siapa qo’ilnya atau yang mengucapkannya.


BAB II
ISI / PEMBAHASAN

A.    PEMBAGIAN HADIST DIPANDANG DARI SISI SIAPA
           QO’ILNYA ATAU YANG MENGUCAPKANNYA
           
1.      HADIST QUDSI

Menurut bahasa, Qudsi dinisbatkan kepada “Qudus” yang artinya Suci.
      Hadist Qudsi adalah hadis yang disandarkan kepada Rasulullah Saw, dan disandarkannya kepada Allah Swt.[1]

Seperti :
 Rasulullah Saw bersabda tentang hadis yang diriwayatkan dari tuhannya :…..
     
      Atau
 
Allah Swt berfirman dalam hadis yang di riwayatkan oleh Rasulullah Saw :..
     
      Hadist qudsi disebut pula hadis Illahi atau hadis Rabbani. Penamaan hadis ini dengan nama hadis qudsi adalah sebagai penghormatan terhadap hadis-hadis yang demikian mengingat bahwa sandarannya adalah Allah Swt. Jadi, seakan-akan hadis qudsi itu disabdakan untuk menyucikan Zat Allah Swt. Sedikit sekali hadis qudsi yang membicarakan hukum halal dan haram. Hadis qudsi itu termasuk ilmu rohani tentang Allah Swt.
      Diantara contoh hadis qudsi adalah hadis yang diriwayatkan Abu Hurairah, ia berkata : Rasulullah Saw bersabda : “Allah Swt berfirman :


      “Aku adalah sekutu yang paling tidak membutuhkan persekutuan. Maka barang siapa melakukan suatu perbuatan disertai dengan mempersekutukan Aku kepada selain Aku, maka Aku akan meninggalkannya dan sekutunya.”
(H.R. Muslim dan Ibnu Majah).[2]




          Perbedaan Antara Hadis Qudsi dan Al-Qur’an

Sehubungan dengan perbedaan antara hadis qudsi dan Al-Qur’an, para ulama berbeda pendapat. Di antara pendapat yang paling kuat adalah pendapat Abul Baqa’ al-‘Akbari dan al-Thayyibi.

      Abul Baqa’ al-‘Akbari berkata, “Sesungguhnya lafal dan makna Al-Qur’an berasal dari Allah Swt melalui pewahyuan secara terang-terangan, sedangkan hadis qudsi itu redaksinya dari Rasulullah dan maknanya berasal dari Allah Swt melalui pengilhaman atau melalui mimpi.”

      Al-Thayyibi berkata, “Al-Qur’an itu diturunkan melalui perantaraan malaikat kepada Nabi Muhammad Saw, sedangkan hadis qudsi itu maknanya berisi pemberitaan Allah melalui ilham atau mimpi, lalu Nabi Muhammad Saw memberitakannya kepada umatnya dengan redaksinya sendiri. Adapun hadis Nabawi tidak diriwayatkannya dari Allah.” [3]

Al-Qur’an memiliki beberapa keistimewaan yang tidak terdapat pada hadis qudsi, yang terpenting diantaranya adalah sebagai berikut :

1.      Al-Qur’an merupakan mukjizat
2.      Kita boleh membaca Al-Qur’an dalam ibadah, bagi yang berhadas tidak boleh menyentuhnya dan bagi orang junub tidak boleh membacanya.
3.      Al- Qur’an itu mutawatir, sedangkan hadis-hadis qudsi itu tidak ada yang mutawatir, bahkan sebagian diantaranya ada yang dinilai dhaif.[4]
Para ulama telah menghimpun hadis-hadis qudsi dalam berbagai kitab yang khusus untuk itu. Yang terpenting diantaranya adalah kitab Al-ithaf al saniyah fil al-Ahadits Al-Qudsiyyah karya al-Munawi.[5]

2.      HADITS NABAWI
      Menurut istilah hadis Nabawi ialah apa saja yang disandarkan kepada Nabi ‎Muhammad saw, baik berupa perkataan, perbuatan, persetujuan, maupun karakter ‎beliau.[6]
      Contoh hadis Nabawi yang berupa perkataan (qauli) adalah perkataan Nabi ‎Muhammad saw:‎
                                          إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ ، وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى
(اخرجه البخارى ومسلم)


Hadis Nabawi ditinjau dari proses terjadinya dibagi menjadi dua, yaitu :
a.           Tauqifi, yaitu hadis yang kandungan maknanya diterima oleh Rasulullah saw dari ‎wahyu, kemudian beliau menjelaskan kepada manusia dengan redaksi (susunan ‎kata) beliau sendiri, Meskipun kandungannya dinisbahkan kepada Allah, tetapi ‎dari segi pembicaraan lebih layak dinisbahkan kepada Rasulullah saw, sebab kata-‎kata itu dinisbahkan kepada yang mengatakannya meskipun di dalamnya terdapat ‎makna yang diterima dari pihak lain.

b.         Taufiqi yaitu yang disimpulkan oleh Rasulullah saw menurut ‎pemahamannya terhadap Al-Quran, karena beliau mempunyai tugas menjelaskan ‎Al-Quran atau menyimpulkannya dengan pertimbangan dan perenungan ijtihad ‎beliau.



3.      HADITS MARFU’

      Al-Marfû’ menurut bahasa isim maf’ul dari kata rafa’a (mengangkat), dan ia sendiri berarti ”yang diangkat”. Dinamakan demikian karena disandarkannya ia kepada memiliki kedudukan tinggi, yaitu Rasulullah SAW.[7]
      Hadis Marfu’ adalah ucapan, perbuatan, ketetapan, atau sifat yang disandarkan kepada Nabi Muhammad Saw secara khusus, baik sanad hadits itu bersambung atau terputus.[8]

      Berdasarkan definisi diatas hadits marfu itu ada yang sanadnya bersambung, adapula yang terputus. Dalam hadits marfu ini tidak dipersoalkan apakah ia memiliki sanad dan matan yang baik atau sebaliknya. Bila sanadnya bersambung maka dapat disifati hadits shahih atau hadits hasan, berdasarkan derajat kedhabitan dan keadilan perawi. Bila sanadnya terpuus hadits tersebut disifati dengn hadits dhaif mengikuti macam-macam putusnya perawi.

      Hadits Marfu’ ada 2 macam antara lain yaitu Tashrihah dan hukman.
a.        Tashrihah (dengan terang-terangan atau tegas)
Maksudnya adalah hadits yang isinya terang-terangan menunjukkan marfu’. Yang terang atau jelas seperti ini disebut juga marfu’ hakiki.
b.      Hukman (pada hukum)
Maksudnya adalah hadits yang isinya tidak terang menunjukkan marfu’ tetapi dihukumi marfu’ karena bersandar kepada beberapa tanda.[9]

Contoh-contoh hadits Marfu’ antara lain :

a.       Marfu’ Qauli Hakiki
      Ialah apa yang disandarkan oleh para sahabat Nabi tentang sabdanya, bukan perbuatannya atau iqrarnya, yang dikatakan dengan tegas bahwa Nabi bersabda. Seperti pemberitaan sahabat yang menggunakan lafadz qauliah (perkataan nabi).

سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول …… كذا
Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda……begini”

Contohnya seperti hadits Nabi :

عَنْ ابْنِ عُمَرَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ صَلاَةُ الْجَمَاعَةِ أَفْضَلُ مِنْ صَلاَةِ الْفَذِّ بِسَبْعٍ وَعِشْرِينَ دَرَجَةً

(متفق عليه)

 Artinya : “Warta dari Ibn Umar r a, bahwa Rasulullah saw pernah bersabda : Shalat jama’ah itu lebih afdhal dua puluh tujuh tingkat dari pada shalat sendirian” ( HR Bukhari dan Muslim).

b.      Marfu’ Qauli Hukmi
      Ialah hadits marfu’ yang tidak tegas penyandaran sahabat terhadap sabda Nabi, melainkan dengan perantaran qarinah (tanda) yang lain, bahwa apa yang disandarkan sahabat itu berasal dari sabda Nabi. Seperti pemberitaan sahabat yang menggunakan kalimat :
     
                        أمرنا بكذا ……. نهينا عن كذا

“Aku diperintah begini……., aku dicegah begitu ……”

Contohnya  :
أمر بلال ان ينتفع الأذن و يوتر الإقامة ( متفق عليه )
“Bila r.a diperintah menggenapkan adzan dan mengganjilkan iqamah.” (H.R Mutafaqqun ‘Alaih)

      Pada contoh diatas hadits tersebut dihukumkan marfu dan karenanya hadits yang demikian itu dapat dibuat hujjah. Sebab pada hakikatnya si pemberi perintah iu tidak lain kecuali Nabi saw. [10]

c.       Marfu’ Fi’li Hakiki
      Adalah apabila pemberitaan sahabat itu dengan tegas menjelaskan perbuatan rasulullah saw.

      Contohnya :

عن عائشة رضى الله عنها انّ رسولالله صلّى الله عليه وسلّم كان يد
عوا فى الصلاة, ويقول: (اللّهمّ إنّى أعوذبك من المأثم و المغرم)
 (رواه البخارى)

“Warta dari ‘Aisyah r.a. bahwa rasulullah saw mendo’a di waktu sembahyang, ujarnya: Ya Tuhan, aku berlindung kepada Mu dari dosa dan hutang” (HR Bukhari)

d.      Marfu’ Fi’li Hukmi
      Ialah perbuatan sahabat yang dilakukan dihadapan Rasulullah atau diwaktu Rasulullah masih hidup. Apabila perbuatan sahabat itu tidak disertai penjelasan atau tidak dijumpai suatu qarinah yang menunjukkan perbuatan itu dilaksanakan di zaman Rasulullah, bukan dihukumkan hadits marfu melainkan dihukumkan hadits mauquf. Sebab mungkin adanya persangkaan yang kuat, bahwa tindakan sahabat tersebut diluar pengetahuan Rasulullah saw.

      Contohnya :
قال جابر: كنّا نأكل لحوم الخيل على عهدى رسول الله (رواه النسائى)
“Jabir r.a berkata : konon kami makan kuda diwaktu Rasulullah saw masih hidup” (H. R Nasai)
e.       Marfu’ Taqririyah Hakiki
      Ialah tindakan sahabat dihadapan Rasulullah dengan tiada memperoleh reaksi, baik reaksi itu positif maupun negatif dari beliau.

 Contohnya, Seperti pengakuan Ibnu Abbas r.a :

كنّا نصلّ ركعتين بعد غروب الشمس و كان رسول الله صلى الله عليه و سلم يرانا ولم يأمرنا ولم ينهنا
 “Konon kami bersembahyang dua rakaat setelah matahari tenggelam, Rasulullah saw mengetahui perbuatan kami, namun beliau tidak memerintahkan dan tidak pula mencegah.”



f.       Marfu’ Taqririyah Hukmi
      Ialah apabila pemberitaan sahabat diikuti dengan kalimat-kalimat sunnatu Abi Qasim, Sunnatu Nabiyyina atau minas Sunnati.

Contohnya, perkataan Amru Ibnu ‘Ash r.a kepada Ummul Walad :
لا تلبسوا علين سنّة نبيّنا (رواه ابو داود)
“Jangan kau campur-adukkan pada kami sunnah nabi kami.”
 (HR. Abu Dawud‎)

      Perkataan di atas tidak lain adalah sunnah Nabi Muhammad saw, akan tetapi kalau yang memberitakan dengan kalimat minas sunnati dan yang sejenis dengan itu seorang tabi’in, maka hadits yang demikian itu bukan disebut hadits marfu, tetapi disebut hadits mauquf.[11]



4.      HADITS MAUQUF

      Hadits Mauquf adalah sesuatu yang disandarkan kepada para sahabat r.a dan tidak sampai kepada Rasulullah Saw. Hadis yang demikian disebut mauquf karena ia hanya terhenti pada sahabat dan tidak naik kepada Rasulullah Saw.
      Ibnu shalah dan ulama lain berkata, “Hadis mauquf yang sanadnya bersambung sampai kepada seorang sahabat yang bersangkutan termasuk hadis mauquf maushul; dan sebagian hadis mauquf yang tidak bersambung sanadnya termasuk hadis mauquf yang tidak maushul sesuai dengan ketentuan-ketentuan pada hadis marfu’.
      Kekhususan hadis mauquf bagi seorang sahabat itu apabila kata mauquf disebutkan secara mutlak, yakni apabila dikatakan () atau
(  ).[12]

      Namun kadang-kadang kata mauquf digunakan untuk hadis yang terhenti pada selain sahabat, seperti dikatakan, “Hadis tentang anu dan anu dinilai mauquf oleh Fulan pada ‘Atha’, atau pada Thawus dan sebagainya.
      Sebagian ulama menyebut hadis mauquf secara mutlak sebagai atsar.[13]

Contonya :

      “Konon Ibnu Umar r.a berkata : Bila kau berada di waktu sore jangan menunggu datangnya pagi hari, dan bila kau berada di waktu pagi jangan menunggu datangnya sore hari. Ambillah dari waktu sehatmu persediaan untuk sakitmu dan dari waktu hidupmu untuk persediaan matimu.” (HR. Bukhari)

      Hadis diatas adalah hadis mauquf, sebab kalimat tersebut adalah perkataan Ibnu Umar sendiri, tidak ada petunjuk kalau itu sabda Rasulullah Saw, yang ia ucapkan setelah ia menceritakan bahwa Rasulullah memegang bahunya dengan bersabda :


كن فى الدنيا كأنّك غريب او عابر سبيل
“Jadikanlah kamu di dunia ini bagaikan orang asing atau orang yang lewat di jalanan.”

      Hadis mauquf dapat disifati hadits shahih atau hasan tetapi tidak ada kewajiban untuk menjalankannya, tetapi boleh dijadikan sebagai penguat dalam beramal karena sahabat dalam hal ini hanya berkata atau berbuat yang dibenarkan oleh Rasulullah Saw.[14]





5.      HADIST MAQTHU’

      Hadits Maqhtu’ adalah hadits yang disandarkan kepada tabi’in. Jenis hadits ini, sebagaimana beberapa jenis hadits sebelumnya ada yang sahih, ada yang hasan, dan ada yang dhaif, serta predikat-predikat lain yang akan dibahas kemudian.[15]

      Contohnya adalah perkataan Sufyan Ats-Tsaury, seorang tabi’in, yang mengatakan:
من السنّة أن يصلّى بعد الفطر اثنتى عشرة ركعة وبعد الأضحى ستّ ركعات
     “Termasuk sunnat ialah mengerjakan shalat 12 rakaat setelah shalat Idul Fitri, dan 6 rakaat sehabis shalat Idul Adha.”

      Asy-Syafi’i dan Ath-Thabarani menggunakan istilah maqthu untuk munqathi. Tetapi sebenarnya ditinjau dari segi istilah, memang kedua-duanya mempunyai perbedaan. Sebab suatu hadits dikatakan dengan munqathi itu dalam lapangan pembahasan sanad, yakni sanadnya tidak muttashil. Sedang untuk hadits dikatakan maqthu itu dalam lapangan pembahasan matan, yakni matannya tidak dinisbatkan kepada Rasulullah saw atau sahabat r.a.[16]








BAB III
                               PENUTUP

A.    KESIMPULAN

            Berdasarkan pembahasan diatas, dapat disimpulkan bahwa pengertian Hadist Qudsi adalah hadis yang disandarkan kepada Rasulullah Saw, dan disandarkannya kepada Allah Swt. Hadis Nabawi ialah apa saja yang disandarkan kepada Nabi ‎Muhammad saw, baik berupa perkataan, perbuatan, persetujuan, maupun karakter ‎beliau. Hadis Marfu’ adalah ucapan, perbuatan, ketetapan, atau sifat yang disandarkan kepada Nabi Muhammad Saw secara khusus, baik sanad hadits itu bersambung atau terputus. Hadits Mauquf adalah sesuatu yang disandarkan kepada para sahabat r.a dan tidak sampai kepada Rasulullah Saw. Hadits Maqhtu’ adalah hadits yang disandarkan kepada tabi’in. Hadits Marfu’ ada 2 macam antara lain yaitu Tashrihah dan hukman yaitu : a.) Tashrihah (dengan terang-terangan atau tegas), b.) Hukman (pada hukum). Contoh-contoh hadits Marfu’ adalah Marfu’ Qauli Hakiki, Marfu’ Qauli Hukmi, Marfu’ Fi’li Hakiki, Marfu’ Fi’li Hukmi, Marfu’ Taqririyah Hakiki, Marfu’ Taqririyah Hukmi.

B.     KRITIK DAN SARAN

Demikianlah isi pembahasan dari makalah ini,  namun sebagai manusia yang tidak sempurna kami menyadari bahwa ada banyak kesalahan-kesalahan serta kekurangan-kekurangan yang terdapat didalamnya baik dalam dari segi isi, pengetikan, dan kesalahan-kesalahan lain yang terjadi, untuk itu beribu ma’af kami harapkan, kiranya ia bisa dimaklumi.
            Namun demikian, segala masukkan, tanggapan, saran serta kritikkan yang bersifat membangun sangat kami harapkan untuk perbaikkan dimasa depan. Semoga makalah ini berguna bagi penulis pada khususnya juga para pembaca yang budiman pada umumnya.



DAFTAR PUSTAKA

Dr. Nuruddin ‘Itr, ‘Ulumul Hadis.
Hadits hadits shahih (Bukhori Muslim), https://www.facebook.com/permalink.php?id=244466825583652&story_fbid=467603983269934.




[1] ) ‘Ulumul Hadist,  bab 5 hlm 334.

[2] ) Ulumul Hadist,  bab 5 hlm 335; Al-Ithaf al-saniyah, no. 59-59; Muslim, 8:223; Ibnu Majah, no. 4202.

[3] ) ‘Ulumul Hadis,  bab 5 hlm 336; Qawa’id al-Tahdits, hlm 66.

[4] ) ‘Ulumul Hadist,  bab 5 hlm 337; Al-Manhaj al-Hadits, bagian Tarikh, hlm 3-32.

[5] ) ‘Ulumul Hadist,  bab 5 hlm 337; Al-Risalat al-Mustathrafah, hlm 61.

[6] ) http://wildanesia.blogspot.com/2012/12/pengertian-wahyu-al-quran-hadis-qudsi.html.

[7] ) http://arjonson-abd.blogspot.com/2009/08/pembagian-hadis-berdasar-penyampainya.html

[8]) Ulumul Hadist,  bab 5 hlm 337

[9] ) Hadits hadits shahih (Bukhori Muslim),   https://www.facebook.com/permalink.php?id=244466825583652&story_fbid=467603983269934

[10] ) http://tukarcatatan.blogspot.com/2012_11_01_archive.html, Al-Khatib,  “Ajaj, M. Dr., Ushulul Hadits, Darul     Fikr, Damsyik

[11] )  http://tukarcatatan.blogspot.com/2012_11_01_archive.html

[12] ) Ulumul Hadist,  bab 5 hlm 338

[13] ) Ulumul Hadist,  bab 5 hlm 338

[14] ) http://tukarcatatan.blogspot.com/2012_11_01_archive.html

[15] ) Ulumul Hadist,  bab 5 hlm 338


[16] ) http://tukarcatatan.blogspot.com/2012_11_01_archive.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar