Dosen : Nikmat Sabli.
L.ac
TUGAS ULUMUL HADITS
“Pembagian Hadits di Pandang dari
Sisi Siapa Qoilnya atau Yang Mengucapkan.”
O L E H
: Kelompok VI (Enam)
Sirojudin,
Dayang Sunandi,
Ema Suryani,
Julia,
Johri Andika.
Prodi : Ekonomi Islam
Semester
:
II A
SEKOLAH TINGGI AGAMA
ISLAM (STAI)
NATUNA
2012-2013
KATA
PENGANTAR
Alhamdulillah, Segala puji bagi
Allah SWT . Kami memuji, meminta pertolongan dan ampunan serta perlindungan
kepada-Nya dari kejahatan jiwa dan keburukan amal perbuatan. Barang siapa
diberi petunjuk oleh Allah SWT, tak seorang pun dapat menyesatkannya dan barang
siapa disesatkan-Nya, tak seorang pun dapat memberinya petunjuk. Aku bersaksi
tiada tuhan selain Allah dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan
utusan-Nya.
Sehubungan dengan tugas mata kuliah
Ulumul Hadits, kami dari kelompok 6 (enam), mendapat materi tentang Pembagian
Hadits dipandang dari sisi siapa Qo’ilnya atau yang mengucapkannya ( Hadits
Qudsi, Hadits Nabawi, Hadits Marfu’, Hadits Mauquf, dan Hadits Maqhtu’.)
Kami menyadari bahwa penyusunan
makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu kami mengharapkan kritik
dan saran yang bersifat membangun dari semua saudara/saudari guna perbaikan di
masa yang akan datang. Harapan kami semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi
semua saudara/saudari.
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR…………………………………………………………………….1
DAFTAR ISI………………………………………………………………………………2
BAB I
: PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG………………………………………………………3
B. TUJUAN…………………………………………………………………….3
BAB II : ISI / PEMBAHASAN
A. PEMBAGIAN
HADIST DIPANDANG DARI SISI SIAPA
QO’ILNYA ATAU YANG MENGUCAPKANNYA
1. HADIST QUDSI......................................................................4
2. HADIST NABAWI..................................................................6
3. HADIST MARFU’...................................................................7
4. HADIST MAUQUF.................................................................11
5. HADIST
MAQTHU’................................................................13
BAB
III : PENUTUP
A. KESIMPULAN……………………………………………………………14
B. KRITIK DAN SARAN……………………………………………………14
DAFTAR
PUSTAKA……………………………………………………………………15
BAB I
PENDAHULUAN
A.
LATAR BELAKANG
Hadits sebagai sumber
hukum Islam yang kedua setelah Al Qur’an untuk memberi petunjuk kepada
kehidupan umat manusia. Apa yang tidak diuraikan dalam Al Qur’an akan
dijelaskan secara gamblang dalam sebuah hadits, karena pada dasarnya hadits
merupakan perkataan, ajaran, perbuatan Rasulullah SAW.
Ilmu hadits telah
menyedot perhatian ulama sejak awal perkembangan Islam hingga saat ini, bahkan
khazanah Islam lebih banyak dipenuhi kitab-kitab hadits dibanding misalnya
kitab tafsir. Ini menunjukkan pentingnya kedudukan hadits dalam Islam.
Kita sebagai seorang
muslim tidak menyakini bahwa semua hadits adalah shahih, namun juga tidak benar
bila menganggap bahwa semua hadits adalah palsu sebagaimana anggapan para
orientalis. Untuk mengetahui tentang kedudukan/martabat suatu hadits di mata
hukum yang selanjutnya dari hadits tersebut bagaimana dapatnya dijadikan
sebagai sandaran/landasan hukum maka perlu difahami tentang keadaan suatu
hadits baik dinilai dari sifat perawinya, sanad-nya, maupun matan dari hadits
itu.
B. TUJUAN
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah
sebagai berikut :
1. Untuk
memenuhi sebagai tugas yang diberikan.
2.
Untuk mengembangkan pemikiran ilmu
pengetahuan tentang pembagian hadits.
3. Untuk
mengetahui lebih dalam tentang pembagian hadits dipandang dari sisi siapa
qo’ilnya atau yang mengucapkannya.
BAB II
ISI / PEMBAHASAN
A. PEMBAGIAN
HADIST DIPANDANG DARI SISI SIAPA
QO’ILNYA
ATAU YANG MENGUCAPKANNYA
1.
HADIST
QUDSI
Menurut bahasa,
Qudsi dinisbatkan kepada “Qudus” yang artinya Suci.
Hadist Qudsi
adalah hadis yang disandarkan kepada Rasulullah Saw, dan disandarkannya kepada
Allah Swt.[1]
Seperti :
Rasulullah Saw bersabda
tentang hadis yang diriwayatkan dari tuhannya :…..
Atau
Allah Swt
berfirman dalam hadis yang di riwayatkan oleh Rasulullah Saw :..
Hadist qudsi disebut pula hadis Illahi atau hadis Rabbani. Penamaan hadis
ini dengan nama hadis qudsi adalah sebagai penghormatan terhadap hadis-hadis
yang demikian mengingat bahwa sandarannya adalah Allah Swt. Jadi, seakan-akan
hadis qudsi itu disabdakan untuk menyucikan Zat Allah Swt. Sedikit sekali hadis
qudsi yang membicarakan hukum halal dan haram. Hadis qudsi itu termasuk ilmu
rohani tentang Allah Swt.
Diantara
contoh hadis qudsi adalah hadis yang diriwayatkan Abu Hurairah, ia berkata :
Rasulullah Saw bersabda : “Allah Swt berfirman :
“Aku adalah sekutu yang paling tidak
membutuhkan persekutuan. Maka barang siapa melakukan suatu perbuatan disertai dengan
mempersekutukan Aku kepada selain Aku, maka Aku akan meninggalkannya dan
sekutunya.”
(H.R. Muslim dan Ibnu Majah).[2]
Perbedaan
Antara Hadis Qudsi dan Al-Qur’an
Sehubungan dengan perbedaan antara hadis qudsi dan
Al-Qur’an, para ulama berbeda pendapat. Di antara pendapat yang paling kuat
adalah pendapat Abul Baqa’ al-‘Akbari dan al-Thayyibi.
Abul Baqa’
al-‘Akbari berkata, “Sesungguhnya lafal dan makna Al-Qur’an berasal dari Allah
Swt melalui pewahyuan secara terang-terangan, sedangkan hadis qudsi itu
redaksinya dari Rasulullah dan maknanya berasal dari Allah Swt melalui
pengilhaman atau melalui mimpi.”
Al-Thayyibi
berkata, “Al-Qur’an itu diturunkan melalui perantaraan malaikat kepada Nabi
Muhammad Saw, sedangkan hadis qudsi itu maknanya berisi pemberitaan Allah
melalui ilham atau mimpi, lalu Nabi Muhammad Saw memberitakannya kepada umatnya
dengan redaksinya sendiri. Adapun hadis Nabawi tidak diriwayatkannya dari
Allah.” [3]
Al-Qur’an memiliki beberapa keistimewaan yang tidak
terdapat pada hadis qudsi, yang terpenting diantaranya adalah sebagai berikut :
1. Al-Qur’an merupakan mukjizat
2. Kita boleh membaca Al-Qur’an dalam ibadah, bagi yang
berhadas tidak boleh menyentuhnya dan bagi orang junub tidak boleh membacanya.
3. Al- Qur’an itu
mutawatir, sedangkan hadis-hadis qudsi itu tidak ada yang mutawatir, bahkan
sebagian diantaranya ada yang dinilai dhaif.[4]
Para ulama telah menghimpun hadis-hadis
qudsi dalam berbagai kitab yang khusus untuk itu. Yang terpenting diantaranya
adalah kitab Al-ithaf al saniyah fil
al-Ahadits Al-Qudsiyyah karya al-Munawi.[5]
2.
HADITS NABAWI
Menurut istilah hadis Nabawi ialah apa
saja yang disandarkan kepada Nabi Muhammad saw, baik berupa perkataan,
perbuatan, persetujuan, maupun karakter beliau.[6]
Contoh hadis Nabawi yang berupa
perkataan (qauli) adalah perkataan Nabi Muhammad saw:
إِنَّمَا
الأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ ، وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى
(اخرجه البخارى ومسلم)
Hadis Nabawi ditinjau dari proses terjadinya
dibagi menjadi dua, yaitu :
a.
Tauqifi, yaitu hadis yang kandungan
maknanya diterima oleh Rasulullah saw dari wahyu, kemudian beliau menjelaskan
kepada manusia dengan redaksi (susunan kata) beliau sendiri, Meskipun
kandungannya dinisbahkan kepada Allah, tetapi dari segi pembicaraan lebih
layak dinisbahkan kepada Rasulullah saw, sebab kata-kata itu dinisbahkan kepada
yang mengatakannya meskipun di dalamnya terdapat makna yang diterima dari
pihak lain.
b.
Taufiqi yaitu yang disimpulkan oleh
Rasulullah saw menurut pemahamannya terhadap Al-Quran, karena beliau mempunyai
tugas menjelaskan Al-Quran atau menyimpulkannya dengan pertimbangan dan
perenungan ijtihad beliau.
3.
HADITS MARFU’
Al-Marfû’ menurut bahasa isim maf’ul dari kata rafa’a (mengangkat),
dan ia sendiri berarti ”yang diangkat”. Dinamakan demikian karena
disandarkannya ia kepada memiliki kedudukan tinggi, yaitu Rasulullah SAW.[7]
Hadis Marfu’ adalah ucapan, perbuatan,
ketetapan, atau sifat yang disandarkan kepada Nabi Muhammad Saw secara khusus, baik sanad
hadits itu bersambung atau terputus.[8]
Berdasarkan definisi diatas hadits
marfu itu ada yang sanadnya bersambung, adapula yang terputus. Dalam hadits
marfu ini tidak dipersoalkan apakah ia memiliki sanad dan matan yang baik atau
sebaliknya. Bila sanadnya bersambung maka dapat disifati hadits shahih atau
hadits hasan, berdasarkan derajat kedhabitan dan keadilan perawi. Bila sanadnya
terpuus hadits tersebut disifati dengn hadits dhaif mengikuti macam-macam
putusnya perawi.
Hadits Marfu’ ada
2 macam antara lain yaitu Tashrihah dan hukman.
a.
Tashrihah (dengan terang-terangan atau tegas)
Maksudnya adalah hadits yang isinya terang-terangan
menunjukkan marfu’. Yang terang atau jelas seperti ini disebut juga marfu’
hakiki.
b.
Hukman
(pada hukum)
Maksudnya adalah
hadits yang isinya tidak terang menunjukkan marfu’ tetapi dihukumi marfu’
karena bersandar kepada beberapa tanda.[9]
Contoh-contoh
hadits Marfu’ antara lain :
a.
Marfu’ Qauli Hakiki
Ialah apa yang disandarkan oleh para
sahabat Nabi tentang sabdanya, bukan perbuatannya atau iqrarnya, yang dikatakan
dengan tegas bahwa Nabi bersabda. Seperti pemberitaan sahabat yang menggunakan
lafadz qauliah (perkataan nabi).
سمعت رسول الله صلى الله
عليه وسلم يقول …… كذا
“Aku
mendengar Rasulullah SAW bersabda……begini”
Contohnya
seperti hadits Nabi :
عَنْ ابْنِ عُمَرَ أَنَّ
رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ صَلاَةُ الْجَمَاعَةِ أَفْضَلُ
مِنْ صَلاَةِ الْفَذِّ بِسَبْعٍ وَعِشْرِينَ دَرَجَةً
(متفق عليه)
Artinya : “Warta dari Ibn Umar r a, bahwa
Rasulullah saw pernah bersabda : Shalat jama’ah itu lebih afdhal dua puluh
tujuh tingkat dari pada shalat sendirian” ( HR Bukhari dan Muslim).
b.
Marfu’ Qauli Hukmi
Ialah hadits marfu’ yang tidak tegas
penyandaran sahabat terhadap sabda Nabi, melainkan dengan perantaran qarinah
(tanda) yang lain, bahwa apa yang disandarkan sahabat itu berasal dari sabda
Nabi. Seperti pemberitaan sahabat yang menggunakan kalimat :
أمرنا بكذا ……. نهينا عن كذا
“Aku diperintah
begini……., aku dicegah begitu ……”
Contohnya :
أمر بلال ان ينتفع الأذن و يوتر الإقامة ( متفق عليه )
“Bila r.a
diperintah menggenapkan adzan dan mengganjilkan iqamah.” (H.R Mutafaqqun
‘Alaih)
Pada contoh diatas hadits tersebut
dihukumkan marfu dan karenanya hadits yang demikian itu dapat dibuat hujjah.
Sebab pada hakikatnya si pemberi perintah iu tidak lain kecuali Nabi saw. [10]
c.
Marfu’ Fi’li Hakiki
Adalah apabila
pemberitaan sahabat itu dengan tegas menjelaskan perbuatan rasulullah saw.
Contohnya :
عن
عائشة رضى الله عنها انّ رسولالله صلّى الله عليه وسلّم كان يد
عوا
فى الصلاة, ويقول: (اللّهمّ إنّى أعوذبك من المأثم و المغرم)
(رواه
البخارى)
“Warta dari
‘Aisyah r.a. bahwa rasulullah saw mendo’a di waktu sembahyang, ujarnya: Ya
Tuhan, aku berlindung kepada Mu dari dosa dan hutang” (HR Bukhari)
d.
Marfu’ Fi’li Hukmi
Ialah perbuatan
sahabat yang dilakukan dihadapan Rasulullah atau diwaktu Rasulullah masih
hidup. Apabila perbuatan sahabat itu tidak disertai penjelasan atau tidak
dijumpai suatu qarinah yang menunjukkan perbuatan itu dilaksanakan di zaman
Rasulullah, bukan dihukumkan hadits marfu melainkan dihukumkan hadits mauquf.
Sebab mungkin adanya persangkaan yang kuat, bahwa tindakan sahabat tersebut diluar
pengetahuan Rasulullah saw.
Contohnya :
قال
جابر: كنّا نأكل لحوم الخيل على عهدى رسول الله (رواه
النسائى)
“Jabir r.a berkata
: konon kami makan kuda diwaktu Rasulullah saw masih hidup” (H. R Nasai)
e.
Marfu’ Taqririyah Hakiki
Ialah tindakan
sahabat dihadapan Rasulullah dengan tiada memperoleh reaksi, baik reaksi itu
positif maupun negatif dari beliau.
Contohnya,
Seperti pengakuan Ibnu Abbas r.a :
كنّا نصلّ ركعتين بعد غروب الشمس و كان رسول الله
صلى الله عليه و سلم يرانا ولم يأمرنا ولم ينهنا
“Konon kami
bersembahyang dua rakaat setelah matahari tenggelam, Rasulullah saw mengetahui
perbuatan kami, namun beliau tidak memerintahkan dan tidak pula mencegah.”
f.
Marfu’ Taqririyah Hukmi
Ialah apabila
pemberitaan sahabat diikuti dengan kalimat-kalimat sunnatu Abi Qasim,
Sunnatu Nabiyyina atau minas Sunnati.
Contohnya,
perkataan Amru Ibnu ‘Ash r.a kepada Ummul Walad :
لا تلبسوا علين سنّة نبيّنا (رواه ابو داود)
“Jangan kau
campur-adukkan pada kami sunnah nabi kami.”
(HR. Abu
Dawud)
Perkataan di
atas tidak lain adalah sunnah Nabi Muhammad saw, akan tetapi kalau yang
memberitakan dengan kalimat minas sunnati dan yang sejenis dengan itu seorang
tabi’in, maka hadits yang demikian itu bukan disebut hadits marfu, tetapi
disebut hadits mauquf.[11]
4.
HADITS MAUQUF
Hadits Mauquf adalah sesuatu yang
disandarkan kepada para sahabat r.a dan tidak sampai kepada Rasulullah Saw.
Hadis yang demikian disebut mauquf karena ia hanya terhenti pada sahabat dan
tidak naik kepada Rasulullah Saw.
Ibnu shalah dan ulama lain berkata, “Hadis
mauquf yang sanadnya bersambung sampai kepada seorang sahabat yang bersangkutan
termasuk hadis mauquf maushul; dan sebagian hadis mauquf yang tidak bersambung
sanadnya termasuk hadis mauquf yang tidak maushul sesuai dengan ketentuan-ketentuan
pada hadis marfu’.
Kekhususan hadis mauquf bagi seorang
sahabat itu apabila kata mauquf disebutkan secara mutlak, yakni apabila
dikatakan () atau
( ).[12]
Namun kadang-kadang kata mauquf digunakan untuk hadis yang
terhenti pada selain sahabat, seperti dikatakan, “Hadis tentang anu dan anu
dinilai mauquf oleh Fulan pada ‘Atha’, atau pada Thawus dan sebagainya.
Sebagian ulama menyebut hadis mauquf
secara mutlak sebagai atsar.[13]
Contonya :
“Konon Ibnu Umar r.a berkata : Bila kau
berada di waktu sore jangan menunggu datangnya pagi hari, dan bila kau berada
di waktu pagi jangan menunggu datangnya sore hari. Ambillah dari waktu sehatmu persediaan
untuk sakitmu dan dari waktu hidupmu untuk persediaan matimu.” (HR. Bukhari)
Hadis diatas adalah hadis mauquf, sebab
kalimat tersebut adalah perkataan Ibnu Umar sendiri, tidak ada petunjuk kalau
itu sabda Rasulullah Saw, yang ia ucapkan setelah ia menceritakan bahwa
Rasulullah memegang bahunya dengan bersabda :
كن فى الدنيا كأنّك غريب او عابر سبيل
“Jadikanlah kamu di dunia ini
bagaikan orang asing atau orang yang lewat di jalanan.”
Hadis mauquf dapat disifati hadits shahih
atau hasan tetapi tidak ada kewajiban untuk menjalankannya, tetapi boleh
dijadikan sebagai penguat dalam beramal karena sahabat dalam hal ini hanya
berkata atau berbuat yang dibenarkan oleh Rasulullah Saw.[14]
5.
HADIST
MAQTHU’
Hadits Maqhtu’ adalah hadits yang
disandarkan kepada tabi’in. Jenis hadits ini, sebagaimana beberapa jenis hadits
sebelumnya ada yang sahih, ada yang hasan, dan ada yang dhaif, serta
predikat-predikat lain yang akan dibahas kemudian.[15]
Contohnya
adalah perkataan Sufyan Ats-Tsaury, seorang tabi’in, yang
mengatakan:
من السنّة أن يصلّى بعد الفطر اثنتى عشرة ركعة
وبعد الأضحى ستّ ركعات
“Termasuk
sunnat ialah mengerjakan shalat 12 rakaat setelah shalat Idul Fitri, dan 6
rakaat sehabis shalat Idul Adha.”
Asy-Syafi’i dan
Ath-Thabarani menggunakan istilah maqthu untuk munqathi. Tetapi sebenarnya
ditinjau dari segi istilah, memang kedua-duanya mempunyai perbedaan. Sebab
suatu hadits dikatakan dengan munqathi itu dalam lapangan pembahasan sanad, yakni sanadnya tidak
muttashil. Sedang untuk hadits dikatakan maqthu itu dalam lapangan pembahasan
matan, yakni matannya tidak dinisbatkan kepada Rasulullah saw atau sahabat r.a.[16]
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Berdasarkan
pembahasan diatas, dapat disimpulkan bahwa pengertian Hadist Qudsi adalah hadis yang disandarkan kepada
Rasulullah Saw, dan disandarkannya kepada Allah Swt.
Hadis Nabawi ialah apa saja yang disandarkan kepada Nabi Muhammad saw, baik
berupa perkataan, perbuatan, persetujuan, maupun karakter beliau. Hadis Marfu’
adalah ucapan, perbuatan, ketetapan, atau sifat yang disandarkan kepada Nabi
Muhammad Saw secara khusus, baik sanad hadits itu bersambung atau
terputus.
Hadits
Mauquf adalah sesuatu yang disandarkan kepada para sahabat r.a dan tidak sampai
kepada Rasulullah Saw. Hadits Maqhtu’ adalah hadits yang disandarkan kepada
tabi’in. Hadits
Marfu’ ada 2 macam antara lain yaitu Tashrihah dan hukman yaitu : a.) Tashrihah
(dengan terang-terangan atau tegas), b.) Hukman (pada hukum). Contoh-contoh
hadits Marfu’ adalah Marfu’ Qauli Hakiki, Marfu’ Qauli Hukmi, Marfu’ Fi’li
Hakiki, Marfu’ Fi’li Hukmi, Marfu’ Taqririyah Hakiki, Marfu’ Taqririyah Hukmi.
B. KRITIK
DAN SARAN
Demikianlah
isi pembahasan dari makalah ini, namun sebagai manusia yang tidak
sempurna kami menyadari bahwa ada banyak kesalahan-kesalahan serta
kekurangan-kekurangan yang terdapat didalamnya baik dalam dari segi isi, pengetikan,
dan kesalahan-kesalahan lain yang terjadi, untuk itu beribu ma’af kami
harapkan, kiranya ia bisa dimaklumi.
Namun demikian,
segala masukkan, tanggapan, saran serta kritikkan yang bersifat membangun sangat kami harapkan untuk perbaikkan
dimasa depan. Semoga
makalah ini berguna bagi penulis pada khususnya juga para pembaca yang budiman
pada umumnya.
DAFTAR
PUSTAKA
Dr.
Nuruddin ‘Itr, ‘Ulumul Hadis.
Hadits hadits shahih (Bukhori Muslim), https://www.facebook.com/permalink.php?id=244466825583652&story_fbid=467603983269934.
[1] ) ‘Ulumul Hadist, bab 5 hlm 334.
[2] ) ‘Ulumul Hadist, bab 5 hlm 335; Al-Ithaf al-saniyah, no. 59-59; Muslim,
8:223; Ibnu Majah, no. 4202.
[3] ) ‘Ulumul Hadis, bab 5 hlm 336;
Qawa’id al-Tahdits, hlm 66.
[4] ) ‘Ulumul Hadist, bab 5 hlm
337; Al-Manhaj al-Hadits, bagian
Tarikh, hlm 3-32.
[5] ) ‘Ulumul Hadist, bab 5 hlm 337; Al-Risalat al-Mustathrafah,
hlm 61.
[6] ) http://wildanesia.blogspot.com/2012/12/pengertian-wahyu-al-quran-hadis-qudsi.html.
[7] ) http://arjonson-abd.blogspot.com/2009/08/pembagian-hadis-berdasar-penyampainya.html
[8]) ‘Ulumul Hadist, bab 5 hlm 337
[9] ) Hadits hadits shahih (Bukhori Muslim), https://www.facebook.com/permalink.php?id=244466825583652&story_fbid=467603983269934
[10] ) http://tukarcatatan.blogspot.com/2012_11_01_archive.html, Al-Khatib, “Ajaj, M. Dr., Ushulul Hadits,
Darul Fikr,
Damsyik
[11] ) http://tukarcatatan.blogspot.com/2012_11_01_archive.html
[12] ) ‘Ulumul Hadist, bab 5 hlm 338
[13] ) ‘Ulumul Hadist, bab 5 hlm 338
[14] ) http://tukarcatatan.blogspot.com/2012_11_01_archive.html
[15] ) ‘Ulumul Hadist, bab 5 hlm 338
Tidak ada komentar:
Posting Komentar